Berlagak Pujangga

Aku berlagak layaknya seorang pujangga
Bermain dengan kertas dan juga pena
Mencoba merangkai aksara demi aksara
Menjadi kata kata yang indah untuk di baca
Tapi apa daya
Aku hanya berlagak
Aku bukan pujangga yang sesungguhnya
Dua gelas kopi pun terserup habis
Tapi belum juga ada yang ku tulis.

0 komentar:

Mahluk Menyebalkan

Sore ini, langit begitu mendung, aku terus melangkahkan kakiku menuju tempat parkir. berharap mahluk menyebalkan itu tak turun dulu sebelum aku sampai rumah. Setibanya di parkiran, tetes demi tetes butiran air kecil itu menabrak wajahku. Sepertinya tak akan sempat, pikirku dalam hati. Benar saja butiran butiran air yang jatuh itu kian membesar, dan aku harus segera mencari tempat perlindungan.
Satu menit kemudian, tak terelakan lagi, akhirnya mahluk itu turun juga. Orang orang menyebutnya hujan, aku menyebutnya mahluk menyebalkan. Bagaimana tidak, seringkali ia meghambat aktifitasku, membasahi pakaianku, dan seluruh isi tasku. Pernah suatu ketika aku kehujanan, seluruh pakaianku basah tentunya, tak terkecuali tas yang ku bawa juga basah. Kalau hanya pakaian sih tak mengapa. Masalahnya tas beserta isinya juga ikut basah, ada bebera arsip penting didalamnya, termasuk skripsi hasil revisi, buku buku yang ku pinjam dari perpustakaan juga ikut basah. Siapa yang salah? Aahh entahlah, mana bisa aku menyalahkan hujan, yang mungkin di nanti nantikan oleh para petani saat sawah mereka kekeringan. aku saja yang bodoh, berani menerjang hujan tanpa perlidungan. Tapi tetap saja, aku merasa kesal dibuatnya.
Ada sebuah kafe kecil di sebrang parkiran sana. Tak mau kejadian sebelumnya terulang lagi, aku memilih berlindung. Langsung saja kulangkahkan kakiku menuju kafe tersebut.
“Bisa pesan kopi mba?” tanyaku sambil mencari tempat untuk duduk.
“bisa mas” jawabnya singkat sambil tersenyum ramah.
Beberapa menit kemudian pelayan itu datang mengantar pesanan. “ini kopinya mas, selamat menikmati”
“ia mba, makasih”
“Sekalian rokok nya mas?” pelayan itu menawarkan.
 “oh enggak mba, makasih” sanggahku cepat.
Aku memang suka si kafein, tapi tidak untuk nikotin. Walau kata kebanyakan orang, tak lengkap rasanya kalau si kafein tak di sandingkan sama si nikotin. Tapi aku tidak. Hampir semua temanku peroko. Tapi aku tak pernah  sedikitpun tergoda, asapnya saja aku tak suka, apalagi berani mencoba.
Dua menit kemudian,orang orang mulai beradatangan, kafe yang tadinya sepi mendadak penuh. Sepertinya mereka juga singgah hanya untuk sekedar berlindung dari hujan. Terakhir ada seorang perempuan berhenti di depan pintu kafe. Wajahnya masih melihat ke arah jalan, dilihat dari belakang sepertinya aku mengenalnya. namun aku belum benar benar yakin sebelum melihat wajahnya.
Tak lama kemudian akhirnya ia pun berbalik, lalu membukakan pintu kafe, rupanya ia juga mencari tempat berlindung dari hujan. Mataku terus tertuju padanya, sementara itu, ia sibuk melihat sekeliling, mencari tempat yang pas untuk duduk. Sampai akhirnya padangan kami saling bertemu.
“Hai” sapaku singkat.
“hai” jawabnya pelan, penuh kecanggungan.
Ia pun mendekat, sepertinya, memang tak ada pilihan lain, selain duduk satu meja dengaku. Ada lima pasang bangku disana, empat bangku  ditempati  pasangan muda mudi, dan satu satunya lagi, kutempati sendiri.
“boleh duduk?”  tanyanya sambil senyum, yang sepertinya sedikit ia paksakan.
“oh boleh dong” jawabku mengiyakan.
Suasana kembali hening. Walau setelah sekian lama tak bertemu, berat sekali rasanya untuk sekedar menanyakan kabar. Seperti ada rasa ego yang menghalangi. Kembali ku seruput kopiku yang sudah agak mendingin, sedangkan ia sibuk dengan gadget nya. Entah apa yang sedang ia lakukan, Jari jarinya lincah mengetuk huruf demi huruf di layar handphonenya. Aku tak tau, apakah ia benar benar mengetik, atau hanya ingin menghidariku saja. 
lima menit sudah berlalu, diantara kami berdua, tak ada yang mau memulai percakapan. Sebenarnya, aku sengaja tak bicara dulu, hanya sekedar ingin tahu, apakah ia mau memulai pembicaraan terlebih dahulu atau tidak. Sedikit egois memang, tapi biarlah.
             Lama lama, aku tak tahan. Sepertinya memang harus aku yang memulai pembicaraan.
             “kamu apa kabar?” akhirnya kalimat itu keluar memecah keheningan.
“aku baik, kamu gimana?” ia balik nanya, ia leatakan handphonenya di atas meja.
 “aku baik juga. Ngomong ngomong, sibuk apa sekarang?” tanyaku lagi
“sekarang aku dirumah aja, minggu kemarin baru resign dari kantor”
“ohh” reaksiku singkat dengan mulut terbuka sambil mengangguk pelan. Masih banyak yang ingin kutanyakan sebenarnya. Tentang kerjanya apa?, di kantor mana?, kenapa resign?, dan lain sebagainya.
“kalau kamu gimana?” sambungnya lirih.
“aku masih sibuk skripsi”
“lohh masih belum selesai juga?”  tanyanya heran.
Kami satu angkatan, kuliyah di kampus yang sama juga jurusan yang sama. Aku sedikit banyak membantunya mendapatkan SK penelitian. Karna memang saat itu aku sudah dapet SK dan surat izin penelitian lebih dulu, tapi itu bukan jaminan. Sementara aku masih sibuk bimbingan. Ia sudah lulus duluan.
“udah sih, tinggal revisi sedikit, dosennya juga udah ngejanjiin acc besok, doain aja ya supaya cepet sidang terus bisa ikut wisuda gelombang ini.”
“iya aku doain kok” sahutnya sambil tersenyum hangat.
Kali ini senyumnya terlihat tulus, setidaknya tak seperti sebelumnya yang terlihat sedikit ia paksakan. Sepertinya susuana berubah, walaupun tak sepenuhnya kecanggungan diantara kami hilang, setidaknya atmospir dingin diantara kami sedikit mencair.
“mau pesen kopi? Masih suka ngopi kan?”  tanyaku lagi.
“ohh ia, sampai luapa”  jawabnnya cepat “masa masuk sini cuma numpang berteduh doang” sambungnya lirih sambil tersenyum kecil.
“aku pesenin ya!” tak perlu nungu jawaban, aku langsung memanggil pelayan untuk memesan secangir kopi lagi.
“kopinya satu lagi mba!”
“iya mas” pelayan itu mengangguk pelan.
Beberapa saat kemudian, pelayan itu kembali datang mengantarkan pesanan. “ini kopinya mba” katanya lirih, seperti sudah tahu kopi itu bukan untuk diriku.
Untuk kedua kalinya suasana kembali hening, Masih banyak sekali kata yang ingin sekali terucap sebenarnya. Tapi apa daya, keadaan sekarang telah berbeda, semuanya tak sepert dulu lagi. ia kembali sibuk dengan handphonenya. Sementara aku sibuk mencuri curi pandang wajah cantiknya. Merasa sedang diperhatikan, ia mengangkat wajahnya, cepat cepat kualihkan pandanganku darinya.
Hujan mulai reda. lima menit kemudian, sebuah motor berhenti di depan kafe. Sepertinya ia datang untuk menjemput seseorang. Benar saja, perempuan  di hadapanku itu bersiap untuk pergi. Ia merapikan pakaianya, lalu memasukan ponselnya kedalam tas mungilnya, dan mengeluarkann uang pecahan lima pulu ribuan dari dompetnya.
“ahh, kopinya biar aku aja yang bayar sekalian”
“makasih ya” ia kembali tersenyum, “aku duluan ya, jemputanku udah dateng soalnya.”
“Iya hati hati”
“oh ya, good luck ya buat sidangnya, semoga cepet wisuda”
“Iya makasih”
Brmm... motor itu melaju, dengan perempuan itu di jok belakngnya. aku terus memandanginya sampai ia benar benar pergi, sampai punggung kecilnya tak terlihat lagi. Jika hujan berhenti menyisakan genangan, ia pun pergi meninggalkan kenangan.

Kini yang tersisa hanya tinggal aku sendiri, bertemankan sang sepi di sore yang dingin ini. Dan disaat seperti inilah kopi menjadi begitu berarti. ia mengerti, saat segala sesuatunya selalu datang dan pergi, ia selalu setia menemani.

0 komentar:

People come and go


   Wisuda merupakan simbol atas berakhrinya suatu jenjang pendidikan. Walupun sejatinya  ini merupakan awal dari perjuangan, perjuangan untuk mewujudkan impian dan tujuan masing masing. Pertama tama saya ucapkan terimakasih kepada kedua orang tua saya, thanks for coming, thanks for your suport, and thanks for everything you have given to me. Tak lupa, alhamdulillah, puji sukur saya ucapkan atas kelulusan ini. setelah kurang lebih empat tahun (hampir lima tahun sih sebenanya) akhirnya satu tahapan terlewati. Tak ada lagi presentasi, tak ada lagi diskusi, juga tak akan ada lagi ocehan dosen yang membosankan, atau amukan dosen killer yang menakutkan, yang membuat atmospire ruangan kelas menegangkan. juga tak perlu lagi nungguin dosen pembimbing seharian buat revisi atau bimbingan skripsi. tapi mungkin itulah hal hal yang membuat kita kangen nanti. Empat  tahun bukanlah waktu yang singkat, ada banyak sekali ikatan yang saya buat didalamnya. Baik itu ikatan pertemanan, persahabatan, ataupun percintaan (sepertinya, yang terakhir tak pelu disebutkan). Dan tentunya, ada banyak sekali kenangan yang  saya buat bersama mereka para sahabat dan teman teman seperjuangan.

0 komentar:

Untitled

Hai kawan, kau masih saja suka melamun sendirian?
"Ah tidak ngin, hanya sedikit kepikiran"
Katamu, dua tiga hari kedepan kau akan baik baik saja, dan sekarang sudah seminggu tapi kau masih saja bersedih.
"Sepertinya, aku butuh sedikit lebih banyak waktu ngin"
Ah sekarang kau mengertikan ? Hati itu begitu lemah. Luka yang kau derita tak seberapa, tapi tetap saja sakitnya luar biasa. dibandingkan luka orang orang yang kau sebut alay sebelumnya, yang hanya karna perempuan, berhari hari mulut tak dikasih asupan. Lukamu tak ada apa apanya.
"Ah kau datang hanya untuk menceramahiku saja ngin?"
Tidak, tidak. Hanya tak tahan melihatmu bersedih seperti ini. Kenapa tak kau manfaatkan momen sepeti ini untuk berkarya seperti biasanya? Katamu "perasaan suka, duka, maupun lara, adalah samudra inspirasi untuk berpuisi". 
"Rasanya, aku ingin berhenti menulis saja ngin"
Ah kenapa? Jangan bilang karena......
"Bukan ngin, bukan karena masalah ini, lagian apa hubunganya masalah ini dengan kegiatan tulis menulisku?"
Lalu? 

0 komentar:

tak apa, aku baik baik saja

Hai ada apa gerangan, kenapa akhir akhir ini kau jadi lebih pendiam? 
"Tak apa ngin, aku baik baik saja"
Ayolah kawan, mukamu terlihat suram, kusam tak karuan, pasti ada yang sedang kau pikirkan.
"Sudah ku bilang, aku baik baik saja. Hanya sedikit merenung."
Melamun lebih tepatnya. apa sih yang sedang kau pikirkan? soal skripsi yang lagi lagi revisi? atau...
"bukan"
lalu ?
ohhh... let me guess, ini pasti soal dia, dia yang kau sebut mahluk menyebalkan itu bukan.?
ahhh... sudah kuduga, ternyata benarkan? 
"ah sudahlah ngin, aku sedang tak ingin membicarakannya."

0 komentar:

Kopi tanpa gula

image source: http://www.wowkeren.com
cinta ini seperti kopi
tapi kopi yang terseduh tanpa gula
lalu kau suguhkan padaku secara sengaja
bodohnya, setelah tahu itu pahit
aku tetap meminumnya
dan menikmati kepahitan disetiap seruputnya.
tapi tak apa
walau hati ini sedikit terluka
aku baik baik saja
semoga kau juga sama disana.

0 komentar:

Jingga Diujung Senja

Barangkali aku hanyalah warna jingga di ujung senja, hadir untuk siap dilupakan, hadir untuk siap ditelan kegelapan malam.

0 komentar:

Kopi dan Sepi

Selain sepi, secangkir kopilah yang setia menemani malamku bergelut dengan skripsi yang belum juga jadi.

0 komentar:

Kopi

Kopi mengerti, saat segala sesuatunya selalu datang dan pergi, ia selalu setia menemani.

0 komentar: